Pesan Pembina Takmir Masjid Besar Darussalam Jetak Kedungdowo: Makna dan Filosofi Kupatan

KUDUS - Sepekan setelah hari raya Idul Fitri, sebagian umat muslim Indonesia terutama di Pulau Jawa, merayakan Lebaran Ketupat. Lebaran Ketupat kerap identik dengan tradisi kenduren atau selametan yang sudah berkembang dikalangan masyarakat Indonesia.

Adalah warga dukuh Jetak Desa Kedungdowo, Kecamatan Kaliwungu, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah yang tetep memelihara tradisi dan budaya jawa yakni kupatan dalam rangka tasyakuran dan do'a bersama setelah enam hari berpuasa, sebagai rasa syukur atas nikmat Allah SWT yang telah diberikan. 

Kegiatan Kenduri Kupatan tersebut bertempat di serambi Masjid Besar Darussalam Jetak Kedungdowo. Acara berlangsung pada Senin, 07 April 2025.

Ali Ahmadi yang merupakan Kepala Dusun (Kadus) dari Pemerintah Desa Kedungdowo yang membuka acara tersebut mengatakan, kita warga dukuh Jetak Desa Kedungdowo tetep memelihara tradisi dan budaya Jawa yakni Kenduren Kupatan dalam rangka tasyakuran dan do'a bersama di Masjid Besar Darussalam sejak zaman dahulu hingga sekarang.

"Setelah enam hari kita berpuasa Sunnah, sebagai rasa syukur atas nikmat Allah SWT yang telah diberikan kepada kita semua, kemudian kita mengadakan selamatan Kupatan", 

katanya.

Ali Ahmadi menambahkan bahwa, Lebaran Ketupat tahun 1446 Hijriyyah/2025 Masehi atau Syawalan adalah tradisi silaturrahim dan saling berma'af-ma'fan setelah idul Fitri 1 Syawwal.

"Al-hamdulillah pelaksanaan Lebaran Kupatan pada pagi hari ini berjalan dengan aman, lancar, dan sukses", 

terangnya.

Sementara itu, KH. Ali Ihsan, pembina Ta'mir Masjid Besar Darussalam mengatakan, ketupat ini berawal dari penyebaran agama Islam di Pulau Jawa oleh Sunan Kalijaga.

Dimana Sunan Kalijaga memperkenalkan Bakda lebaran dan Bakda Kupat sebagai informasi Bakda Kupat merupakan budaya yang dimulai satu pekan setelah Lebaran. Pada hari itu, banyak masyarakat yang menganyam dan mempersiapkan hidangan ketupat. Kemudian ketupat akan dibagikan kepada kerabat yang lebih tua sebagian simbol kebersamaan.

"Perlu diketahui bahwa, umat Islam itu hanya ada dua lebaran yakni Idul Fitri dan Idul Adha (bodo gede atau Idul Fitri dan bodo besar atau Idul Adha)," 

kata Ali Ihsan.

Kupatan dilakukan pada hari ketujuh setelah Lebaran dan identik dengan hidangan ketupat, yakni olahan nasi yang dibungkus anyaman janur (daun kelapa muda) dan dimasak hingga padat. 

Namun, lebih dari sekadar makanan, ketupat menyimpan filosofi mendalam tentang kehidupan dan nilai-nilai kebersamaan.

Kata kupat berasal dari bahasa Jawa "Ngaku Lepat (mengaku akan kesalahan) secara filosofis sesama umat muslim diharapkan mengakui kesalahan dan saling mema'afkan dengan memakan ketupat tersebut.

"Menurut tradisi Jawa, bungkus ketupat terbuat dari Janur kuning yang melambangkan tolak bala, sedangkan bentuk segi empat mencerminkan kiblat papat lima pancer, artinya kemanapun manusia menuju, pasti selalu kembali kepada Allah SWT atau arah kiblat", 

terangnya.

Ketupat berasal dari kata 'Kupat' dengan arti ganda yakni ngaku lepat (mengakui kesalahan) dan lalu papat (empat tindakan).

Empat tindakan yang dimaksudkan antara lain; Luberan (melimpah), Leburan (melebur dosa/saling mema'afkan), Lebaran (pintu ampunan terbuka lebar), dan Laburan (dibersihkan, mensucikan diri).

H. Ali Ihsan yang juga sebagai anggota DPRD Kudus fraksi PKB mengungkapkan bahwa, kerumitan anyaman bungkus ketupat sebagai macam kesalahan manusia. Kompleksitas masyarakat Jawa yang harus dieratkan dengan silaturrohim.

Isian beras pada ketupat yang berwarna putih, ketika dibelah dua mencerminkan kebersihan dan kesucian setelah mohon ampun dari kesalahan. Janur merupakan singkatan dari 'Jatining Nur' atau cahaya sejati (hati nurani). Jika digabungkan, Ketupat memiliki arti manusia yang menahan hawa nafsu dengan mengikuti hati nurani.

Tradisi ini menjadi momen bagi masyarakat untuk saling memaafkan setelah menjalani ibadah Ramadhan. Kemudian dilanjut puasa 6 hari yang dimulai dihari kedua setelah Hari Raya, maka dihari yang ketujuh itu ada istilah Lebaran Kupatan.

"Bagi yang puasa 6 hari setelah Hari Raya Idul Fitri, maka akan mendapat pahala 1 tahun berpuasa," 

terangnya.

Mas Ali panggilan akrab H. Ali Ihsan juga menjelaskan, meski zaman terus berkembang, tradisi Kupatan tetap bertahan dan menjadi bagian dari budaya lebaran. Seperti dalam kenduren di masjid ini, membawa ketupat dan lepet dan sebagain dikasihkan pihak panitia masjid, hal ini sekaligus melatih anak untuk bersedekah.

"Makna mendalam di balik ketupat mengajarkan tentang keikhlasan, kebersamaan, dan pentingnya menjaga hubungan baik dengan sesama,"

 jelasnya.

Sebagai bagian dari warisan budaya, Kupatan bukan hanya tentang menikmati hidangan khas Lebaran, tetapi juga tentang merenungkan perjalanan spiritual dan mempererat tali silaturahmi. 

Dengan memahami filosofi di baliknya, perayaan ini menjadi lebih bermakna dan tak sekadar tradisi turun-temurun.

(Luq)

0 Komentar

bumdes
Redaksi https://www.pertapakendeng.com/2023/02/redaksi.html