Nikah Siri Bukan Sebagai Pembenaran, Namun Dugaan Asusila dan Kumpul Kebo Telah Terbantahkan

P A T I- Sukanto Kepala Desa Tanjungrejo, Kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati telah membantah dugaan tindakan Asusila dan Kumpul Kebo sebagaimana dinarasikan beberapa warga yang akhirnya viral di berbagai pemberitaan media massa.


Pasalnya, setelah kandas hubungannya dengan istri pertama dan berakhir perceraian, selanjutnya Sukanto berusaha membangun biduk rumah tangga dengan Mamik istri ke duanya yang Ia nikahi secara sah menurut syari'at dan agamanya. Hal ini dilakukan Sukanto untuk menghindari fitnah, sembari menunggu proses administrasi maupun hari baik (menurut pasaran dan perhitungan kalender Jawa) untuk mencatatkan pernikahannya di Pencatatan sipil, sebagaimana diatur dalam undang-undang perkawinan, (12/02/25) 

"Putusan perceraian saya dari Pengadilan Agama Pati adalah tanggal 31 Desember 2024, dan saya melaksanakan pernikahan yang sah dengan Mamik menurut syariat dan agama kemarin itu pasca putusan tersebut keluar, adapun syarat dan ketentuan dalam pernikahan juga telah sesuai dan diketahui oleh kedua belah pihak keluarga," ungkap Sukanto, Rabu (12/02/25).

Sukanto akhirnya viral setelah dirinya dinarasikan telah melakukan tindakan Asusila dan Kumpul Kebo dengan saudari MM. Namun, tuduhan tersebut dianggap belum selaras dengan pembuktian tindakan asusila yang didasarkan pada Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Alat bukti yang sah dalam pembuktian tindakan asusila adalah: Keterangan saksi, Keterangan ahli, Surat, Petunjuk, Keterangan terdakwa. 

Selain itu, beberapa pasal KUHP yang mengatur tindakan asusila adalah Pasal 281 KUHP mengatur tindakan tidak senonoh di tempat umum, Pasal 289 KUHP mengatur perbuatan cabul, Pasal 290 KUHP mengatur pelecehan yang dilakukan secara fisik, Pasal 291 KUHP mengatur pelecehan seksual di bawah umur, Pasal 418 ayat (1) KUHP mengatur percabulan dengan anak kandung, anak tirinya, anak angkatnya, atau anak di bawah pengawasannya. Selain KUHP, ada juga Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi yang mengatur segala bentuk tindakan yang berkaitan dengan pornografi atau media asusila.

"Tuduhan asusila dan kumpul kebo adalah kurang tepat dan itu tidak benar, karena tidak sesuai dengan fakta, dasar hukum maupun peraturan perundang-undangan yang telah mengatur tentang perbuatan asusila," imbuh Sukanto. 

Terlepas dari itu semua, tindakan ini juga kurang mengedepankan azas kemanusiaan dan keadilan. Karena pada saat peristiwa tanggal 17 Januari 2025 ada hak-hak perempuan yang tidak bersalah. 

Bagaimana tidak, hak-hak MM yang pada saat peristiwa tanggal 17 Januari 2025 sangat diabaikan serta berdampak pada spsikis dan mentalnya. Karena, hubungan dan statusnya juga telah diketahui oleh masing-masing keluarga dan kedua orangtuanya, serta sudah memiliki ikatan hubungan suami-istri (siri/perkawinan tidak tercatat) dan ini bisa dibuktikan dengan saksi-saksi. 

"Dari peristiwa tanggal 17 Januari 2025, saya tidak mencari pembenaran dengan status yang kami miliki (nikah siri/kawin tidak tercatat) karena, status hubungan kami itu jelas, jadi, tidak bisa dikatakan sebagai tindakan asusila atau kumpul kebo, jika boleh menyimpulkan, perbuatan asusila adalah suatu tindakan perbuatan melawan hukum, sementara kumpul kebo adalah suatu hubungan yang tidak memiliki legalitas dan status hubungan ikatan perkawinan," kata Sukanto. 

Untuk diketahui, hak-hak perempuan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia meliputi; (1) Hak memilih pasangan hidup secara bebas, (2) Hak mendapatkan perlindungan khusus dalam bekerja, (3) Hak melakukan perbuatan hukum sendiri, (4) Hak mendapatkan perlindungan dari kekerasan, (5) Hak mendapatkan perlindungan dari perlakuan diskriminatif

Sementara Undang-undang yang mengatur hak-hak perempuan di antaranya seperti, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT

"Pada saat peristiwa (17 Januari 2025) hak-hak MM sebagai seorang perempuan juga seolah dirampas, karena, pada saat itu yang ada hanyalah tindakan yang seolah terorganisir yang dikendalikan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab dan terindikasi penuh muatan politik," pungkasnya.

(Ruslan)

0 Komentar

bumdes
Redaksi https://www.pertapakendeng.com/2023/02/redaksi.html