Kakanwil BPN Jateng dan GJL Bersinergi Kawal Regulasi Pertanahan untuk Kepentingan Rakyat
Dalam pertemuan tersebut, Lampri menyampaikan komitmennya untuk menjalankan delapan program prioritas yang telah ditetapkan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN. Delapan program tersebut meliputi:
1. Penyerapan Anggaran
2. Penyelesaian Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) 2025
3. Persiapan Kabupaten/Kota Lengkap
4. Implementasi Layanan Elektronik
5. Pensertipikatan Tanah Wakaf
6. Redistribusi Tanah
7. Implementasi Eksistensi
8. Persiapan Zona Integritas
Lampri menekankan bahwa dukungan dari berbagai pihak, termasuk GJL, sangat penting dalam kelancaran pelaksanaan program-program tersebut, terutama dalam pengawalan PTSL agar berjalan dengan baik dan transparan.
“Delapan program ini kami harapkan dapat berjalan maksimal dengan dukungan semua pihak, termasuk dari teman-teman GJL. Terutama dalam PTSL, kita ingin program ini bisa berjalan lancar dan diawasi agar sesuai target,” ujar Lampri.
Terkait pengaduan masyarakat mengenai permasalahan pertanahan, Lampri menegaskan bahwa BPN memiliki berbagai jalur pengaduan resmi, seperti SP4N-LAPOR, media sosial resmi, dan juga bisa diajukan langsung ke kantor BPN.
Salah satu tantangan yang dihadapi saat ini adalah penurunan jumlah target PTSL dibandingkan tahun sebelumnya akibat keterbatasan anggaran. Jika pada tahun sebelumnya program PTSL bisa mencapai satu juta bidang tanah, tahun ini hanya ditargetkan sekitar 500 ribu bidang tanah.
Meski demikian, Kakanwil BPN Jateng optimistis bahwa dengan kerja sama yang solid antara BPN, pemerintah daerah, dan organisasi masyarakat seperti GJL, program-program prioritas ini dapat berjalan optimal demi kepastian hukum atas tanah dan kesejahteraan masyarakat.
Ketua Umum GJL, Riyanta, menyampaikan apresiasinya atas keterbukaan Kakanwil BPN Jateng dalam menerima masukan dan kritik dari masyarakat. Ia menegaskan bahwa GJL berkomitmen untuk mengawal kebijakan pertanahan agar tetap berpihak pada kepentingan rakyat.
Salah satu isu utama yang diangkat dalam audiensi ini adalah kebijakan pemangkasan anggaran, yang berdampak pada kelanjutan program PTSL. Riyanta mendorong agar pemerintah, terutama Presiden dan DPR RI, segera melakukan revisi anggaran agar BPN dapat menyelesaikan program-program pertanahan yang sudah dicanangkan sejak era pemerintahan Presiden Joko Widodo dan akan dilanjutkan oleh Presiden terpilih Prabowo Subianto.
"Kebijakan pertanahan harus berkesinambungan. Program PTSL belum selesai, dan kami mendorong agar anggaran BPN ditambah agar kebijakan yang sudah dicanangkan sejak pemerintahan Jokowi dapat dilanjutkan dengan baik oleh pemerintahan Prabowo," ujar Riyanta.
Lebih lanjut, Riyanta menyoroti masih banyaknya regulasi pertanahan warisan kolonial Belanda yang belum disesuaikan dengan kondisi saat ini. Ia juga menyoroti peraturan-peraturan yang tumpang tindih, terutama sejak Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN masih berada di bawah Kementerian Pertanian dan Kementerian Dalam Negeri.
"Dalam prinsip hukum, aturan yang baru seharusnya menggantikan yang lama, tetapi kita masih menemukan regulasi yang tumpang tindih. Diperlukan keberanian dari para penyelenggara negara untuk menegakkan hukum dengan benar agar kebijakan pertanahan bisa lebih efektif dan tidak membingungkan masyarakat," tambah Riyanta.
Sementara itu salah satu anggota GJL Jepara, Marcello Frisone, mengajukan sejumlah pertanyaan dan kritik terkait regulasi pertanahan.
Marcello menyoroti Peraturan Pemerintah (PP) No. 18 Tahun 2021, yang merupakan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020. Ia menilai beberapa pasal dalam regulasi tersebut cenderung berpihak kepada oligarki dan merugikan rakyat kecil. Beberapa poin utama yang disampaikannya antara lain:
1. Pasal 17 tentang Pemberian Izin Reklamasi
Dinilai dapat merusak ekosistem laut dan sumber daya yang seharusnya dilindungi oleh negara.
Berpotensi membuka celah bagi korupsi dan gratifikasi, yang dampaknya merugikan masyarakat pesisir dan nelayan.
2. Pasal 65 tentang Pemberian Hak untuk Pulau Kecil dan Wilayah Perairan
Pulau kecil dan wilayah pesisir harusnya dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat, bukan diberikan kepada pihak asing atau oligarki dengan dalih reklamasi.
3. Pasal 64 tentang Pembatalan Hak atas Tanah
Batas waktu 5 tahun sejak sertifikat diterbitkan dinilai melindungi mafia tanah, sehingga rakyat kecil kesulitan memperjuangkan haknya.
Pemerintah seharusnya hadir dan memberikan pendampingan kepada rakyat dalam sengketa tanah, bukan sekadar menyerahkan penyelesaian kepada pengadilan.
4. Pasal 84 tentang Pendaftaran Tanah Secara Elektronik
Kemudahan digitalisasi berisiko dimanfaatkan mafia tanah, terutama karena masyarakat kecil sering kali kurang memahami sistem elektronik dan hukum pertanahan.
Penyimpanan dokumen tanah secara elektronik dinilai bisa mempersulit pembuktian dalam kasus sengketa, sehingga dokumen fisik harus tetap menjadi bukti autentik.
Selain itu, Marcello juga menggarisbawahi pentingnya pengawasan ketat terhadap pemberian hak atas tanah. Ia menekankan bahwa sebelum hak diberikan, pemerintah harus memastikan dasar hukum, tujuan, dan risikonya. Setelah hak diberikan, perlu ada pengawasan berkala agar tanah tidak disalahgunakan atau ditelantarkan. Jika penerima hak melanggar aturan, maka hak tersebut harus dicabut dan tanah dikembalikan kepada negara.
Menanggapi pertanyaan dan kritik tersebut, Kakanwil BPN Jateng, Lampri, mengapresiasi masukan yang diberikan dan berkomitmen untuk menampung serta meneruskan aspirasi tersebut kepada pemerintah pusat. Ia juga menegaskan bahwa BPN terbuka terhadap dialog dengan masyarakat untuk menciptakan sistem pertanahan yang lebih adil dan transparan.
Audiensi ini menjadi momentum penting dalam memperjuangkan hak-hak rakyat kecil atas tanah, sekaligus mendorong revisi regulasi yang lebih berpihak pada kepentingan publik.
Peliput : Petrus
0 Komentar