Editorial Tajam: Mafia Tanah dan Eksekutif Bermain Legalitas, Hak Rakyat Dirampas!

Penulis : Heri Supriyanto 

Berantas Mafia Tanah: Legalitas yang Asli atau Legalitas yang Bohong?

NASIONAL- Sertifikat tanah seharusnya menjadi jaminan kepastian hukum bagi pemiliknya. Namun, realitasnya sering kali berbeda. Bukannya menjadi alat perlindungan, sertifikat tanah justru kerap digunakan sebagai alat legitimasi kepentingan tertentu. Kasus-kasus sengketa tanah yang tak kunjung usai, penguasaan tanah dengan dalih sertifikasi formal, serta manipulasi legalitas menjadi momok yang menghancurkan keadilan bagi rakyat kecil.


Masyarakat terus mempertanyakan: Apakah yang sah itu benar-benar adil?, Apakah yang formal atau legal itu benar-benar jujur?

Jika pemerintah masih bermain-main dengan legalitas, maka hak-hak masyarakat kecil akan semakin terkikis. Tanah yang seharusnya untuk kesejahteraan rakyat justru jatuh ke tangan mafia dan oligarki. Apakah ini keadilan?

Sudah saatnya pemerintah turun tangan, bukan sekadar menonton dari kejauhan sambil tepuk tangan menyaksikan pertarungan sengit tak berimbang!

Legalitas sertifikat memang diterbitkan oleh pejabat berwenang, tetapi jangan bohongi rakyat jika keabsahan itu bisa diperjualbelikan! Jika legalitas bisa dimanipulasi, maka yang terjadi bukanlah kepastian hukum, melainkan Perampasan hak dan ketidakadilan. Rakyat yang seharusnya mendapatkan perlindungan malah menjadi korban kepentingan elite tertentu.

ATR/BPN: Benteng Hukum atau Gerbang bagi Mafia Tanah?

ATR/BPN seharusnya menjadi pengawas dan pengendali utama dalam urusan sertifikasi tanah. Namun, lemahnya pengawasan justru menjadikan instansi ini sebagai pintu gerbang bagi para penjahat mafia tanah.

Apa yang terjadi?

Sertifikat ganda diterbitkan dengan mudah tanpa verifikasi yang jelas.

Legalitas dimanipulasi dengan kongkalikong bersama aparatur desa dan pejabat pemerintah.

Tanah yang seharusnya dikuasai negara dialihkan ke korporasi dan oligarki.

Masyarakat kecil jangan dipaksa berhadapan dengan pengadilan yang tidak berkeadilan dan berat sebelah.

Praktik-praktik mafia tanah ini bukan hanya dilakukan individu, tetapi sudah menjadi kejahatan berjamaah! Setelah terjadi sertifikat tumpang tindih yang memicu konflik, masyarakat sering kali hanya disuruh menempuh jalur pengadilan. Padahal, akar masalahnya berasal dari kelalaian dan kesalahan oknum BPN sendiri, diawali oleh niat jahat oknum pemerintah desa/Kades.

Ketika rakyat kecil harus berhadapan dengan pengusaha besar pemilik modal, oligarki yang memiliki akses ke kekuasaan, pertandingan ini ibarat cicak melawan buaya. Sudah pasti rakyat kecil akan kalah telak dan menjadi mangsa sebagai santapan empuk.

Dengan hanya menggunakan surat somasi, mafia tanah mampu membuat rakyat kecil ketakutan. Apalagi jika sudah masuk ke tahap eksekusi lahan, rakyat benar-benar dibuat tidak berdaya.

Kesimpulan: Harapan Ada pada Pemerintahan yang Bersih dan Tegas!

Pemerintahan saat ini memiliki peluang emas untuk benar-benar membuktikan komitmennya dalam memberantas mafia tanah. Namun, tanpa ketegasan hukum, pemberantasan ini hanya akan menjadi omong kosong!

Masyarakat berharap, penyelesaian kasus mafia tanah dapat dilakukan dengan transparan dan adil. Penyelesaian tidak boleh hanya berfokus pada jalur perdata, tetapi juga menindak secara pidana semua pihak yang terlibat dalam manipulasi sertifikat tanah. Baik pemalsuan data maupun keterangan palsu.

Kasus tanah yang terjadi di berbagai daerah, seperti Kasus pagar laut di Tangerang, Bekasi, dan Sidoarjo.

Kasus hak pakai atas nama Tan Sieng In di Kampung Perahu, Desa Bandengan, Jepara.

Ini bukan sekadar kasus individu, tetapi cerminan betapa lemahnya perlindungan hukum di negara ini!

Jika kasus-kasus ini hanya diselesaikan secara administratif tanpa pengenaan pidana bagi pelaku Perampasan hak dengan dalih kepemilikan HM tumpang tindih, maka mafia tanah akan terus tumbuh subur! Tanpa sanksi pidana yang tegas, oknum yang terlibat akan terus mengulang praktik kotor mereka.

Pemberantasan mafia tanah harus menjadi gerakan nasional! Sinergitas antara aparat penegak hukum, tokoh masyarakat, LSM, media, dan lembaga bantuan hukum sangat diperlukan. Tanpa dukungan pemerintahan yang benar-benar bersih, keadilan hanya akan menjadi mitos bagi rakyat kecil.

Sudah cukup rakyat ditindas oleh mafia tanah! Sudah saatnya negara benar-benar hadir untuk rakyat! Dan sudah cukup rasanya rakyat mendengar mulut besar dari Presiden dan Kementerian ATR/BPN yang mengatakan, Berantas Mafia Tanah". 

Rakyat menunggu mulut besarmu!!

Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) menyatakan bahwa semua hak atas tanah memiliki fungsi sosial. Artinya melindungi sipil bukan oligarki.

Salam Merdeka!

0 Komentar

bumdes
Redaksi https://www.pertapakendeng.com/2023/02/redaksi.html