Ngopi Bareng Pengurus Punden dan Belik, Warisan Budaya dan Filosofi Kangjeng Sunan Kudus Tetep Lestari

 


KUDUS - Warisan filosofi Kangjeng Sunan Kudus Syekh Ja'far Shodiq memiliki arti yang luar biasa. Diantaranya adalah budaya, toleransi dan GusJigang yang berarti Bagus Ngaji, dan Pintar Bergadang.


Perhimpunan Pemangku Punden dan Belik (P3B) Kecamatan Kota dan Kecamatan Kaliwungu mengadakan pertemuan pengurus di Belik Sri Gowang yang ada di dukuh Jetis Desa Kaliwungu, Kecamatan Kaliwungu, Kabupaten Kudus. Acara tersebut bertajuk "Temu Jagong Bareng Tukar Kaweruh". Jumat, 9 Agustus 2024 malam.


Dalam Kegiatan jagong bareng tersebut dipandu oleh Umar Said dan Syukron tersebut tampak Gayeng, membahas tentang persoalan yang sering dialami oleh para pengurus P3B baik di Kecamatan kota maupun Kecamatan Kaliwungu.


Mengawali acara jagongan, Syukron Pengurus P3B Kecamatan Kota mengatakan, bahwa pengurus ada 26 orang. Kita ada progam untuk bersilaturahim ke pengurus P3B yang ada diwilayah Kecamatan Kota.


Setiap agenda pertemuan ke pengurus P3B yang ada di Kecamatan Kota yang di rilis siap hadir ada 10-15 orang, namun pada waktu yang ditentukan ternyata yang bisa hadir hanya 4-7 orang tidak masalah.


"Kita tetep jalankan progam kegiatan tersebut, itulah dinamika, suka cita yang kita alami," katanya.


Syukron menambahkan, ada berbagai cerita yang unik dan menarik yang kita alami menjadi pengurus P3B Kecamatan Kota, mulai dari perselisihan pendapat tentang nama, tempat makam, orang yang di haul itu orang muslim apa non muslim, bahkan yang lebih ekstrim makam tersebut bukan orang tapi melainkan makam hewan.


"Itulah beberapa perbedaan pendapat dan perselisihan yang kami alami di lapangan, intinya ketika kami mengalami kesulitan dalam menyelesaikan persoalan di lapangan, kami undang pengurus P3B pusat untuk hadir menyelesaikan persoalan tersebut," terangnya.


Sementara itu, Nor Arroziq perwalian P3B Kecamatan Kaliwungu yang menanyakan tentang kata Kanjeng atau Kangjeng Sunan Kudus. Karena menurutnya Kangjeng itu berasal dari 2 suku kata Kang artinya laki-laki dan Jeng itu Perempuan. Mohon penjelasan dasar penyebutan kata Kanjeng dan Kangjeng.?


Musyafa' perwakilan P3B Kecamatan Kaliwungu, mempertanyakan tentang pembukuan cerita setiap Punden dan Belik yang sampai saat ini belum cetak oleh pihak P3B pusat.


Musyafa' juga mempertanyakan banyaknya orang yang mengaku trah atau keturunan para Nabi, Wali dan Punden apakah hal tersebut diperbolehkan..?


Dr. Abdul Jalil sekretaris P3B Pusat menjawab apa yang menjadi pertanyaan, perselisihan, dan perbedaan pendapat bagi para pengurus Punden dan Belik yang saya tangkap ada 4 point;


Pertama ada progam kegiatan silaturahim ke pengurus P3B yang di lis banyak ternyata pada hari yang telah ditentukan ternyata yang bisa hadir sedikit. Itu lumrah dan sering terjadi, karena setiap orang yang jadi pengurus P3B kebanyakan orang yang menjadi tokoh masyakarat, jadi jadwalnya cukup padat. Namun kalau sudah menjadi pengurus harus bisa meluangkan waktunya, ini sebagai bentuk tanggung jawab.


Kemudian yang kedua perselisihan pendapat tentang nama, tempat makam, orang yang di haul itu orang muslim apa non muslim, bahkan makam hewan. Untuk nama orang yang di haul itu biasanya ditanyakan kepada para Kyai, ustad para tokoh spiritual, dan para Habib. Hal tersebut biasanya akan berpengaruh pada penyebutan nama.


Selanjutnya yang ketiga mengenai penyebutan Kanjeng dan Kangjeng yang dipakai oleh Yayasan Makam dan Masjid Menara Kudus (YM3SK) memakai Kangjeng Sunan Kudus. Hal ini diperkuat ketika Bahtsul Masail yang dipimpin oleh KH. Turaikhan Adjuhri memutuskan untuk memakai kata Kangjeng Sunan Kudus.


Dan yang keempat apakah boleh seseorang orang itu mengklaim dirinya sebagai trah atau keturunan para Nabi, Wali, dan Punden. Hal ini bisa diambil dari beberapa versi, misalnya bisa saja keturunan dari hubungan biologis, ideologis dan lainnya.


Perbedaan pendapat atau kesimpulan dalam segala sesuatu secara metodologis merupakan hal yang wajar dan tidak perlu disikapi berlebihan. Ketika masyarakat sudah sepakat tentang nama dan sejarah punden jalankan, sebaliknya jika terjadi penolakan maka harus dicari jalan tengah yang terbaik.


Karena perbedaan tersebut dapat bersumber dari perbedaan data, penalaran atau proses penyimpulan. Perbedaan juga dapat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi serta kearifan lokal. Perbedaan juga dapat timbul dari sudut kepentingan maupun tujuan yang tersembunyi. Perbedaan pendapat adalah rahmat yang harus disyukuri.


Pada dasarnya kalau sudah menjadi pengurus P3B harus mampu memberikan pencerahan dan pemahaman untuk ummat, soal mereka percaya atau tidak terserah mereka, karena ini berbicaranya tentang keyakinan itulah tugas kita para pemangku Punden dan Belik.


Maka kekayaan tradisi dan budaya yang dimiliki Kabupaten Kudus masih terjaga hingga saat ini. Seperti halnya menara Kudus setiap Ta'sis mengadakan Kirab Punden dan Belik. Hal ini sebagai upaya nguri-uri budaya tersebut. 


Kirab Punden dan Belik adalah tradisi yang bernilai sejarah tinggi. Merawat budaya berarti menjaga peradaban yang merupakan warisan filosofi Sunan Kudus Syekh Ja’far Sodiq yang memiliki arti luar biasa. Di antaranya adalah rasa toleransi yang tinggi dan Gusjigang yang berarti bagus perilaku, bagus ngaji, dan pintar berdagang.


Menurutnya, Petuah Kangjeng Sunan Kudus menjadi pondasi tata kota dan masyarakat yang hidup di dalamnya. Seperti halnya bedug dhandang sebagai pertanda awal bulan puasa, buka luwur atau haul, Ta'sis yang merupakan peringatan berdirinya masjid manara Kudus yang merupakan peninggalan Kangjeng Sunan Kudus adalah salah satu cara menjaga warisan dan budaya Kangjeng Sunan Kudus.

(Luq)

0 Komentar

bumdes
Redaksi https://www.pertapakendeng.com/2023/02/redaksi.html