Kejahatan Terlembaga: Brutalnya Oligarki Partai
Kejahatan Terlembaga: Brutalnya Oligarki Partai
Andre Vincent Wenas. Dikutip dari video Youtube kiriman Riyan.
Pertapakendeng.com, Sabtu 09 Juli 2021
Adalah suatu kesewenang-wenangan terlembaga jika tanpa alasan yang masuk akal dan dapat diterima hati nurani (rasa keadilan) seorang kader partai yang de-facto dan de-jure memperoleh suara terbanyak (lebih banyak) tidak jadi dilantik.
Walaupun keterpilihannya sebetulnya sudah sesuai dengan aturan (undang-undang), namun toh ia ditelikung juga di tengah jalan lantaran ada intervensi petinggi partainya dan Itu jelas adalah ketidakadilan, ketidakadilan yang struktural dan bentuk kekerasan terlembaga, artinya kejahatan sosial.
Fenomena kebusukan politik seperti ini barusan saja terjadi, dimana hal itu dilakukan oleh dua partai besar, Gerindra dan PDIP.
Kasus Riezki Aprilia di PDIP jadi ramai lantaran ada OTT KPK terhadap Wahyu Setiawan (Komisioner KPU) yang belakangan menyeret juga Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dan Kiki (panggilan akrab Riezki Aprilia) sudah dilantik jadi anggota DPR-RI bulan Agustus 2019 lalu.
Harun Masiku adalah kader PDIP yang perolehan suaranya ada di urutan keenam dan dialah yang rupanya jadi pilihan favorit para petinggi partai PDIP.
Saat hasil Pileg 2019 dirilis, Harun Masiku mendapatkan 5.878 suara jauh di bawah alm Nazarudin Kiemas (145.752 suara) dan Riezky Aprilia (44.402 suara) dan Darmadi Jufri (26.103 suara), disusul Doddy Julianto Siahaan (19.776 suara) dan Diah Okta Sari (13.310 suara).
Namun Nazarudin Kiemas yang juga ipar dari Megawati Soekarnoputri ini meninggal sebelum hari pencoblosan pileg. Sehingga posisi Harun jadi di urutan kelima dan Riezky naik jadi urutan pertama untuk menggantikan Nazarudin Kiemas.
Ada surat menyurat resmi yang dilakukan para petinggi PDIP untuk membuka jalan bagi Harun Masiku duduk di parlemen pusat.
Begini kronologi surat menyurat yang berkaitan dengan permohonan permintaan Harun Masiku sebagai pengganti antar waktu (PAW) untuk Nazarudin Kiemas.
Surat pertama soal permohonan pelaksanaan putusan Mahkamah Agung (MA) ditandatangani oleh Ketua Bapilu Bambang Wuryanto dan Sekjen Hasto Kristiyanto.
Surat kedua yang merupakan tembusan perihal permohonan fatwa terhadap putusan MA Nomor 57.P/KUM/2019 tertanggal 19 Juli 2019 ditandatangani oleh Ketua DPP Yasonna Hamonangan Laoly dan Sekretaris Jenderal Hasto Kristiyanto.
Surat ketiga, tertanggal 6 Desember 2019 ditandatangani oleh Ketua Umum Megawati Soekarnoputri dan Sekretaris Jenderal Hasto Kristiyanto.
Jadi KPU menerima surat dari DPP PDI Perjuangan sebanyak tiga kali, dimana surat pertama terkait putusan atau permohonan pelaksanaan putusan Mahkamah Agung (MA) dan (surat ini) tertanggal 26 Agustus 2019.
Putusan MA tersebut, kata Arief, berdasarkan pengajuan uji materi yang diajukan (pihak PDI Perjuangan) pada 24 Juni 2019).
Putusan atas uji materi ini dikeluarkan pada 18 Juli 2019. “Jadi prosesnya (uji materi) tidak sampai satu bulan ya,” lanjut Arief. Menurut Arief, atas surat pertama ini, KPU sudah menjawab dengan menyatakan tidak dapat menjalankan putusan MA itu.
“Kedua, kami menerima surat tembusan dari DPP PDI Perjuangan yang meminta fatwa terhadap MA. Itu permintaan ditembuskan kepada KPU tembusannya tertanggal 13 September (2019) dan disampaikan ke kita pada 27 September 2019,” jelas Arief. Namun, karena surat itu berupa tembusan, KPU memutuskan tidak membalas surat tersebut.
Kemudian MA mengeluarkan surat atau fatwa tertanggal 23 September 2019. Nah berdasarkan surat atau fatwa MA ini, DPP PDI Perjuangan mengirimkan permohonan lagi kepada KPU dengan surat tertanggal 6 Desember 2019 yang diterima oleh KPU pada 18 Desember 2019,” ungkap Arief. Surat inilah yang disebut KPU sebagai surat ketiga dari DPP PDI Perjuangan. Karena surat ketiga ditujukan ke KPU, maka KPU menjawab pada 7 Januari 2020. “Yang isinya (surat balasan) kurang lebih sama dengan balasan untuk surat pertama,” tegas Arief.
Inti soal yang jadi pertanyaan kita, kok para elit petinggi PDIP komit menandatangani, yang artinya merestui, mendukung, dan bertanggungjawab terhadap segala implikasi hukum dan politiknya.
Wujud kejahatan struktural yang mencolok saat ini adalah kekerasan terlembaga, radikalisme, fanatisme, dan korupsi. Ditengarai bahwa apa yang terjadi dalam kasus Gerindra dan PDIP yang menelikung kadernya sendiri adalah bentuk kekerasan terlembaga yang pekat dilumuri politik uang.
Ini jelas kejahatan terlembaga terhadap kadernya, dan juga terhadap demokrasi dan rasa keadilan. Tanpa alasan yang bisa diterima akal sehat dan hati nurani, ini menunjukan betapa brutalnya oligarki partai memperkosa hak politik seorang kader. Artinya juga memperkosa demokrasi dan rasa keadilan.
Kejahatan struktural seperti ini jelas destruktif karena bekerja melawan keadilan artinya juga menggerogoti dan menghancurkan institusi dasar masyarakat. Proses pembusukan institusi sosial dari dalam seperti ini sangatlah berbahaya. Jika dilakukan partai besar, maka ia seperti ular phyton yang punya daya cekik yang luar biasa. Sayangnya ia sedang mencekik anaknya sendiri.
Institusi dasar yang sedang dicekik oleh para predator politik itu adalah kebebasan, demokrasi dan keadilan itu sendiri. Padahal disitu sudah tertanam kesempatan seseorang untuk punya akses untuk menentukan keputusan politik dan ekonomi. Akibatnya, masa depan bangsa semakin tidak menentu lantaran distorsi, pertentangan atau konflik kepentingan murahan yang berkepanjangan.
(Frangki Wullur)
Sumber: Riyan
Editor/publiser: Sumadi
0 Komentar